Akhir-akhir ini, saya memang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Bukan hanya karena final exam yang akan datang dalam hitungan jari saja, saya juga menghabiskan waktu saya dengan blog-walking. Ah, rasanya sudah lama sekali saya tidak melakukan ini. Rindu dimana masa-masa saya menghabiskan waktu di depan laptop dengan berguna. Ada sesuatu yang saya dapat setelah berjam-jam atau bahkan seharian di depan layar ini. Saya sendiri baru sadar bahwa saya sudah aktif sebagai penulis blogs (blogspot) sejak oktober 2008. Sebelumnya saya juga memang suka menulis di kolom blogs friendster saat masih booming di tahun 2006. Lalu, freelance as a journalis sejak kelas 1 SMA tahun 2007 sampai tahun 2009 yang pada akhirnya saya dan teman-teman menghasilkan majalah yang di produksi sendiri dan tersebar di seluruh Sumatra-Selatan. Wah, saya rindu sekali masa-masa produktif seperti itu. Masa di mana saya struggling meyakinkan ayah saya bahwa saya kuat dan baik-baik saja. Maklum, beliau agak over-protected dengan saya yang sejak kecil kondisi tubuhnya agak lemah. Orang tua mana yang tidak protes kalau melihat anaknya terlalu aktif bahkan sampai pulang di pagi hari untuk kerjaan yang tidak tetap, apalagi saat itu saya masih pelajar. Walaupun pada akhirnya, ayah saya menyerah dan membiarkan saya melakukan apa yang saya suka (saat itu saya juga mati-matian menjaga kondisi fisik saya dan menyembunyikan kesakitan saya, karena takut ayah saya melarang lagi :D).
Menjadi jurnalis menurut saya adalah hal yang menyenangkan. Ya, menyenangkan. Karena saya memang dari dulu sepertinya hobi menulis dan ber-cuap-cuap. Saya terasa sekali kelebihan saya ini sangat menguntungkan saat saya harus bekerja dalam kelompok. Tak jarang saya selalu menjadi pemimpin dan pembicara. Disaat orang-orang harus mengalami demam panggung, keringat dingin, pucat dan sibuk komat-kami menghapal apa yang harus di presentasikan, saya santai saja dan (tetap) mengambil nafas panjang. Apa resepnya? Mungkin saya hanya kepedean. HAHAHA!
Saya masih ingat saat saya masih kelas 6 SD, saya pernah menjadi pemimpin upacara bendera 17 agustus di sekolah. Padahal saya adalah perempuan. Tetapi satu angkatan memilih saya karena saya berani dan bersuara lantang. Sebelumnya saya memang sering menjadi pengibar bendera, tetapi mungkin agak kurang cocok dengan saya. Lagi-lagi saya memang ber-skill mengenai suara, berbicara tegas.
Dewasa ini, saya merasa segala sesuatu potensi yang telah saya gali menjadi tertutup. Atau mungkin bahkan hilang. Saya sudah jarang menulis, sudah jarang berbicara. Bukan jarang berbicara, maksud saya menggunakan suara saya untuk hal-hal baik yang saya lakukan dulu. Saya merasa tidak menggunakannya dengan maksimal. Setelah saya kuliah di luar negeri, saya justru pasif. Entah karena saya terlalu letih, atau lingkungan saya yang menurut saya terlalu buas. Oh, itu dia.
Lingkungan saya di sini, penuh dengan orang-orang tamak. Yang haus akan pujian, kekuasaan, ke-populeran, kehormatan dan merasa dirinya adalah orang-orang yang paling bersinar. Saya sejujurnya sangat tidak terbiasa dengan drama-drama ini. Bully-membully. Ibaratnya dunia perbinatangan, siapa yang mendominasi dialah yang menang. Dan followers tetaplah followers, walaupun hati nuraninya berbicara bahwa dia mengikuti kelompok yang salah, dia akan tetap mengikuti pihak yang mendominasi. Yang dibully? Mungkin akan diam saja. Saya pribadi, pernah menjadi korban pembully-an. Yang saya lakukan adalah diam dan terus berdo'a. Tapi saya tidak hanya diam kok. Saya juga mengikuti alur permainannya. Saya simpan semua weapon saya. Yang memungkinkan untuk saya keluarkan suatu saat nanti. Saya pernah liat di salah satu blogs, penulis dan traveler favorite saya, dia menuliskan "time will always tell", perasaan saya seperti "JLEB". Dia benar. Pada saat saya dibully habis-habisan, saya hany bisa berdo'a semoga yang masih memiliki hati nurani dibukakan mata hatinya supaya diberikan kesadaran. Memang sangat tidak mudah untuk bertahan dengan keadaan seperti itu. Apalagi oknum yang membully adalah teman-teman satu rumah yang terprovokasi gara-gara tetangga, orang ketiga. Saya tidak pernah habis fikir bagaimana orang yang pernah dekat dengan saya bisa terhasut dengan orang baru. Lebih menyakitkan lagi adalah, ketika mereka tidak membiarkan ada seorangpun yang menjadi teman saya dan turut melabrak orang yang tetap support saya dan mengatakan pada mereka bahwa mereka 'di cuci otak' sama saya. I was like... What the... What a narrow minded. Beberapa bulan kemudian, satu persatu dari kelompok yang ikut-ikutan menjauhi saya sadar. Satu persatu semua kembali dan mereka bercerita bagaimana 'dulu'. Disitu semua terbuka. Again, time will always tell dan kebenaran akan selalu benar entah seberapa lamanya. Seseorang yang dulu menjadi sumbernya, sekarang di jauhi. Semua orang sudah tau bagaimana dia sebetulnya. Semua orang mengatakan "Duh, apa sih yang saya fikirkan dulu sampai saya ikut terhasut omongan yang non-sense?."
Saya cuma bisa tersenyum. Itulah manusia, kadang hanya mendengarkan tanpa berfikir. Sangat mudah terhasut untuk sesuatu yang belum tentu benar. Dan hanya berani menjadi pengikut tanpa berani bersuara. Sejujurnya, saya bukanlah pengecut untuk hal-hal seperti ini. Saya akan ladenin kok. Hanya saja, saya inginkan pertarungan 1 vs 1. Bukan keroyokan seperti itu. Semua orang juga bisa kalau keroyokan. Disini, dengan akal sehat pun semua bisa bilang kalau siapa yang sebetulnya pengecut? ;)
Yasudahlah, apapun yang telah terjadi tidak akan pernah mungkin akan kembali lagi. Yang bisa saya lakukan sekarang adalah tetap baik kepada semua yang telah baik dan berusaha baik kepada siapa yang tidak baik. Semua waktu yang berlalu adalah pelajaran yang sangat berharga untuk saya. Terima kasih atas kesakitan, kebahagian, pengkhianatan dan lain-lain yang telah membuat kita sama-sama belajar agar lebih baik di masa depan.
Dan melalui tulisan ini, saya berjanji untuk lebih produktif lagi :)
-A
No comments:
Post a Comment